Keberhasilan Ilmiah yang Tidak Bebas dari Kegagalan
Kelahiran Dolly sering kali dipandang sebagai tonggak keberhasilan ilmiah dalam bidang bioteknologi. Namun, di balik pencapaian tersebut tersembunyi kenyataan yang mengkhawatirkan. Dolly bukan hasil dari satu percobaan yang sukses, melainkan dari rangkaian upaya panjang yang mencakup lebih dari dua ratus tujuh puluh embrio gagal. Fakta ini menunjukkan bahwa dari sudut pandang teknis, teknologi kloning masih jauh dari kata efisien dan aman.
Lebih dari itu, Dolly menderita berbagai gangguan kesehatan yang tidak lazim dialami oleh domba pada usia serupa, seperti radang sendi dini dan penyakit paru-paru, sebelum akhirnya mati pada usia enam tahun lebih cepat dari usia harapan hidup normal seekor domba. Keberhasilan semu yang berdiri di atas akumulasi penderitaan makhluk hidup semestinya tidak diagungkan sebagai kemajuan. Ilmu pengetahuan yang beradab semestinya tidak hanya mengejar hasil, tetapi juga menjunjung tinggi proses dan dampak yang ditimbulkan terhadap kehidupan lain.
Isu Etika: Saat Kehidupan Diperlakukan Sebagai Objek
Praktik kloning menimbulkan persoalan etika yang serius. Embrio-embrio yang gagal bukan sekadar data eksperimen, melainkan individu potensial yang telah diperlakukan sebagai objek. Pendekatan semacam ini bertentangan dengan prinsip kesejahteraan hewan dan berisiko mengikis nilai moral dalam kegiatan ilmiah.
Ketika kehidupan diperlakukan hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu, batas antara penelitian dan eksploitasi menjadi kabur. Ini bukan hanya persoalan teknis, melainkan menyangkut nilai-nilai etis yang mendasar.
Risiko Normalisasi dan Ancaman terhadap Martabat Manusia
Persoalan kloning tidak berhenti pada kesejahteraan hewan. Implikasi yang lebih serius muncul ketika kemungkinan kloning manusia menjadi kenyataan. Meskipun saat ini praktik tersebut dilarang secara hukum dan ditolak oleh norma-norma etika, tidak dapat dipungkiri bahwa peluang penyalahgunaan tetap terbuka, seiring kemajuan teknologi.
Apabila kloning manusia suatu saat direalisasikan, timbul pertanyaan mendasar: apakah individu hasil kloning akan diakui memiliki martabat dan hak yang setara, ataukah hanya dipandang sebagai salinan belaka? Kekhawatiran ini bukan isapan jempol semata. UNESCO telah memperingatkan bahwa praktik kloning manusia merupakan pelanggaran terhadap martabat manusia. Seruan ini semestinya menjadi pegangan bersama dalam menentukan arah perkembangan teknologi.
Ketimpangan Sosial dan Ancaman Terhadap Keanekaragaman
Kloning juga menyimpan potensi memperkuat ketimpangan sosial. Bila teknologi ini dikomersialisasi, akses terhadapnya kemungkinan besar hanya akan dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik, sehingga menjadikannya instrumen untuk mempertahankan dominasi genetika atau status sosial. Dalam konteks ekologis, kloning berisiko mengurangi keanekaragaman genetik yang selama ini menjadi benteng alam terhadap perubahan lingkungan.
Sains yang ideal adalah sains yang menjunjung keberagaman dan menjaga keseimbangan ekosistem, bukan menyeragamkan kehidupan dengan dalih efisiensi dan kontrol.
Alternatif yang Lebih Etis dan Berkelanjutan
Di tengah berbagai perdebatan, penting untuk dicatat bahwa terdapat pendekatan lain yang lebih etis dan berkelanjutan dalam pengembangan ilmu biologi dan kedokteran. Teknologi sel punca, misalnya, telah menawarkan jalan yang lebih aman dan tidak menimbulkan dilema moral sebesar kloning. Begitu pula pendekatan konservasi yang berbasis ekosistem telah terbukti lebih efektif dalam pelestarian spesies dibanding menciptakan salinan secara artifisial.
Kemajuan sejati dalam ilmu pengetahuan seharusnya tidak mengorbankan prinsip-prinsip moral. Ilmu yang luhur adalah ilmu yang berkembang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan, berakar pada etika, dan berpihak pada kelestarian makhluk hidup.
Dibuat oleh Mahasiswa Tadris Biologi
Universitas Islam Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
Dari Kelompok 6 yang beranggotakan:
1. Umiyatul Mabruroh
2. Nurul Hikmah
3. Wildatus Shofia
4. Dewi Ayu Lestari
Kloning Dolly: Sebuah Peringatan Etis, Bukan Simbol Kemajuan