Jobuzo – Di zaman media sosial yang serba glamor, banyak orang terjebak dalam ilusi kehidupan yang sempurna. Feed Instagram dipenuhi dengan gambar-gambar menarik, mulai dari outfit modis, latte art di kafe mewah, hingga liburan ke destinasi eksotis seperti Bali dan unboxing gadget terbaru. Semua ini menciptakan kesan bahwa banyak orang hidup dalam kemewahan dan kebahagiaan.
Namun di balik itu semua, tak sedikit anak muda yang hidupnya sebenarnya tak semapan yang tampak di layar. Banyak yang mulai mengandalkan PayLater bukan untuk kebutuhan pokok, tapi demi menjaga “image” di media sosial. Pamer menjadi norma, sementara utang konsumtif menjadi konsekuensi yang sering kali diabaikan.
PayLater Solusi atau Perangkap?
Belanja sekarang, bayar nanti. Kedengarannya praktis, kan? Tapi kenyataannya, fitur ini bisa menjadi jebakan yang berbahaya.
“Barang lucu, harga diskon, tinggal klik langsung checkout. Tapi akhir bulan? Tagihan datang, dan tiba-tiba stres.”
Saya pernah mengalami sendiri. Dan ternyata, banyak teman saya juga begitu. Selalu tampil stylish, ganti HP tiap tahun, ngopi tiap sore padahal andalannya PayLater. Bahkan, kadang lebih dari satu aplikasi. Ujung-ujungnya? Gaji bulanan langsung habis buat bayar cicilan barang yang kadang bahkan udah nggak kepakai.
Tekanan Media Sosial Bikin Lupa Prioritas
Flexing di media sosial itu nyata karena aku ngerasain juga. Kita seperti dipaksa untuk selalu tampil keren dan update. Padahal kondisi keuangan kita belum tentu mendukung. Banyak yang akhirnya memaksakan diri demi tampil “kekinian”, bukan karena butuh.
“Menurut survei Katadata Insight Center (2022), hampir 70% anak muda yang pakai PayLater justru menggunakannya buat gaya hidup, bukan kebutuhan mendesak.”
(Sumber: Katadata Insight Center – Laporan E-commerce 2022)
Salah? Nggak juga. Tapi kalau dipakai tanpa kontrol, bisa bahaya. Kalau kita lebih takut kelihatan ‘nggak gaya’ daripada takut utang, itu tandanya kita udah mulai masuk zona merah.
Literasi Finansial Masih Jadi PR
Masalahnya, banyak dari kita, termasuk saya yang enggak benar-benar paham soal pengelolaan uang. Kita tahu cara beli barang, tapi belum tentu tahu cara ngatur cicilan. Di kampus, kita belajar akuntansi dan ekonomi, tapi soal atur uang pribadi? Nggak pernah dibahas.
Banyak orang belum menyadari bahwa PayLater adalah bentuk utang yang memiliki bunga dan denda jika terlambat membayar. Meskipun dampaknya mungkin tidak langsung terlihat, konsekuensi jangka panjangnya bisa sangat merugikan.
Flexing Bukan Kebutuhan Pokok
Nggak semua hal harus dibeli cuma biar kelihatan keren di feed. Kadang, jadi low profile itu justru lebih aman buat mental dan dompet. Kita perlu sadar kalo hidup bukan buat pamer, apalagi sampe maksa ngutang buat tampil “wah”.
Nggak apa-apa pakai barang lama, nongkrong nggak tiap minggu, atau nggak update tren terbaru. Yang penting nggak pusing tiap awal bulan karena tagihan numpuk. Karena sejatinya, punya uang cadangan itu jauh lebih keren daripada punya feed yang fancy tapi dompet kosong.
Yuk, Jujur Sama Diri Sendiri
Nggak semua orang harus tahu isi dompet kita. Kita juga nggak harus ikut standar hidup orang lain yang bahkan belum tentu asli, Jika kita terus-menerus mengikuti tekanan dari media sosial, kita bisa menghabiskan banyak uang demi validasi yang sebenarnya tidak penting.
Kalau PayLater bikin kamu bisa beli kebutuhan penting, itu bagus. Tapi kalau bikin kamu jadi ‘sultan instan’ yang panik pas notifikasi tagihan masuk itu udah warning.
Jadi, yuk kita mulai hidup sesuai kemampuan. Karena stabil secara finansial jauh lebih keren daripada sekadar kelihatan keren.
BIODATA PENULIS
Nama: Rista Wani Kencana
Instansi: Universitas Pamulang
Prodi: Akuntansi
Pamer Dulu, Pusing Belakangan: Ketika PayLater Jadi Jalan Pintas Demi Gaya Hidup