Disusun oleh:
Anisa Lutvia, Nuriza Syahrani, Martinus Mone
Jobuzo – Generasi Alpha adalah kelompok anak-anak yang dilahirkan sejak tahun 2010 dan merupakan generasi pertama yang sudah akrab dengan teknologi digital sejak mereka lahir. Hidup mereka sangat dipengaruhi oleh teknologi, seperti ponsel pintar, internet, dan platform media sosial. Tidak seperti generasi sebelum mereka, Generasi Alpha tumbuh di dalam sebuah lingkungan yang sangat terhubung dengan dunia internasional, khususnya melalui konten digital berbahasa Inggris yang mereka akses hampir setiap hari. Paparan yang mendalam terhadap bahasa asing ini menciptakan pola berbahasa yang istimewa dan berbeda, mencerminkan suatu era baru dalam dinamika berbahasa.
Salah satu karakteristik utama dalam pola komunikasi Generasi Alpha adalah kecenderungan mereka untuk menggabungkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Fenomena ini disebut sebagai campur kode dan peralihan kode, yang merujuk pada penggunaan dua bahasa dalam satu ungkapan atau dialog. Dalam penerapannya, hal ini tidak lagi dipandang sebagai kesalahan berbahasa, melainkan sebagai bentuk ekspresi yang normal dan bahkan sering dianggap lebih “modern” atau sesuai dengan zaman di antara kelompok mereka.
Pemakaian istilah dari bahasa lain ini sering dipandang lebih singkat, lebih tepat dalam pengungkapan, atau bahkan lebih menarik. Mereka sudah biasa mendengarkan dan membaca bahasa Inggris lewat YouTube, TikTok, film, dan permainan daring.
Fenomena ini menggambarkan bahwa bahasa adalah sesuatu yang selalu berkembang dan beradaptasi seiring dengan perubahan zaman. Di tengah fenomena globalisasi, Generasi Alpha secara alami menciptakan cara berkomunikasi yang baru, yang mencerminkan identitas mereka yang digital, global, dan mampu melakukan banyak tugas sekaligus. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi, melainkan juga sebagai lambang identitas sosial dan budaya yang mencerminkan keterkaitan dengan masyarakat global yang lebih besar.
Namun, disamping keuntungan yang ada, terdapat beberapa tantangan yang muncul. Salah satu kekhawatiran yang muncul adalah berkurangnya kemampuan dalam memakai bahasa Indonesia secara formal, khususnya dalam situasi akademik atau profesional. Banyak anak mulai mengalami kesulitan dalam menulis atau berbicara dengan penggunaan bahasa Indonesia yang tepat, akibat kebiasaan mereka yang lebih memilih gaya komunikasi informal dan bercampur. Kekhawatiran ini bisa mempengaruhi tingkat literasi pada generasi yang akan datang.
Dengan demikian, fenomena ini perlu dihadapi dengan kebijaksanaan. Di satu sisi, keterampilan bilingual adalah sumber daya berharga yang harus ditingkatkan. Menguasai dua bahasa atau lebih akan memberikan keuntungan kompetitif di masa depan, terutama dalam bidang pekerjaan dan interaksi global. Namun, di sisi lain, sangat penting untuk menjamin bahwa generasi muda tetap menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahasa bukan sekadar sarana berkomunikasi, melainkan juga merupakan bagian penting dari identitas dan karakter suatu bangsa.
Oleh karena itu, peran aktif dari berbagai pihak sangat dibutuhkan, khususnya dari orang tua, pendidik, dan pembuat kebijakan di bidang pendidikan. Di sekolah, pengajaran kurikulum bahasa Indonesia perlu dilakukan dengan cara yang menarik dan sesuai dengan kehidupan anak-anak, sehingga mereka tidak menganggap bahasa Indonesia sebagai sesuatu yang “usang.” Demikian juga di rumah, orang tua dapat berperan sebagai teladan dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dalam interaksi sehari-hari, sambil tetap mendukung penguasaan bahasa asing dengan seimbang.
Dari sudut pandang yang positif, fenomena ini mengindikasikan bahwa anak-anak dari Generasi Alpha memiliki kemampuan yang sangat baik untuk mengembangkan keterampilan komunikasi antarbudaya sejak usia yang muda. Mereka sering beralih antara dua sistem bahasa, yang mencerminkan fleksibilitas berpikir dan kemampuan untuk beradaptasi secara kognitif. Namun, potensi ini harus diimbangi dengan pengembangan agar mereka tidak melupakan budaya asal mereka.
Fenomena penggunaan bahasa campuran oleh Generasi Alpha mencerminkan transformasi sosial dan budaya di zaman digital. Mereka tidak hanya menggabungkan dua bahasa, tetapi juga menciptakan identitas bahasa baru yang muncul dari interaksi antara budaya lokal dan budaya global. Dalam menghadapi perubahan ini, peran pendampingan menjadi sangat krusial agar mereka bisa berkembang sebagai individu yang tidak hanya mahir dalam berbahasa, tetapi juga bijaksana dalam memilih serta menghargai bahasa.
Dengan pendekatan yang seimbang, Generasi Alpha berpotensi menjadi generasi yang luar biasa, tidak hanya unggul di kancah global, tetapi juga kokoh dalam identitas nasionalnya. Mereka bisa berfungsi sebagai penghubung antara berbagai budaya, serta antara masyarakat lokal dan global, asalkan mereka tetap mengenal, memahami, dan mencintai bahasa asal mereka.
Gen Alpha dan Code-Switching: Wajah Baru Bahasa di Era Global